Kebebasan Beragama
Dan
Diskrimisasi terhadap Minoritas di Indonesia
Wayan Artha
20192110187
I. PENDAHULUAN
Kebebasan beragama diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) berbunyi Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Dari isi pasal 29 ayat (1) dijelaskan ideologi negara Indonesia dalah Ketuhanan yang Maha Esa, oleh karena segala kegiatan di negara Indonesia harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan itu besifat mutlak. Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Oleh karena itu, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya yang warganya anggap benar dan berhak mendapatkan pendidikan yang layak, serta hak setiap warga negara untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan nyaman untuk tinggal dan berhak menentukan kewarganegaraan sendiri.
Dari isi pasal 29 ayat (2) dijelaskan bahwa setiap warga negara memiliki agama dan kepercayaanya sendiri tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun. Dan tidak ada yang bisa melarang orang untuk memilih agama yang diyakininya. Setiap agama memiliki cara dan proses ibadah yang bermacam-macam, oleh karena itu setiap warga negara tidak boleh untuk melarang orang beribadah. Supaya tidak banyak konflik-konflik yang muncul di Indonesia.
Pasal 28 E Ayat (1) berbuyi Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali dan Ayat 2 berbunyi Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya
Pasal 28 I Ayat (1) berbunyi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pasal-pasal tersebut diatas penerapannya dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain yang diatur dalam pasal 28 J sebagai berikut.
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kata kunci : kebebasan, diskriminasi, mayoritas, minoritas
II. LATAR BELAKANG
Adanya landasan konstitusi dan perundang-undangan, tidak dengan sendirinya menunjukan bahwa perlindungan dan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia telah berjalan dengan baik. Setidaknya ada tiga hal yang mendasar, yang bisa dilihat sebagai halangan bagi ditegakkannya hukum dan tugas Pemerintah untuk memberikan jaminan bagi hak-hak kebebasan beragama, termasuk di dalamnya perlindungan bagi hak minoritas, ekspresi budaya, dan keyakinan.
Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Berbunyi: “Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut di hadapan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, pasal ini menerangkan bahwa setiap individu mempunyai haknya masing-masing dengan syarat menjalani sebagaimana mestinya hak itu dipergunakan.
Sementara pasal 29 ayat (2), memberikan kebebasan pada warga Negara untuk memilih dan menganut agama menurut kepercayaanya masing-masing, namun betapa sulitnya mengaktualkan kebebasan beragama itu di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya persoalan yang belum selesai dalam hal dasar yang paling asasi di Indonesia. Bahkan persoalan semakin sembrawut, ketika terdapat sebuah Lembaga Negara yang seakan-akan berperan menjadi “pintu surga”, sehingga berhak memberikan pembatasan yang ketat pada sebuah komunitas, apakah komunitas tersebut layak disebut sebagai agama? ataukah disebut sebagai komunitas “sesat”.
Masa depan kebebasan umat untuk beragama di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius, apalagi dengan munculnya kelompok-kelompok yang merasa mendapatkan mandat dari Tuhan untuk mengimankan kaum yang tidak beriman. Kelompok yang merasa mendapatkan mandat dari Tuhan untuk mengimankan orang lain kita lihat belakangan ini tidak jarang melakukan kegiatan yang oleh banyak pihak dinilai sebagai perbuatan premanisme. Kedengkian dan kekerasan dalam beragama di Indonesia ini harus segera di akhiri dan itu sudah seharusnya menjadi agenda bersama kaum beriman. Tidak ada lagi kaum yang merasa tertekan karena beragama dan beriman kepada Tuhan. Jika hal ini masih terjadi, sebenarnya amanat Undang-undang Dasar 1945, seperti dalam pasal 28 ayat (1) dan (2), serta pasal 29 ayat (2) secara tidak langsung dikhianati oleh anak-anak bangsa.
III. ISI
Di dalam artikel ini saya akan memfokuskan diri pada diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang ada di Republik Indonesia. Kelompok minoritas tersebut dapat berupa suku bangsa (etnis), kelompok agama, dan kelompok gender seperti kaum perempuan dan kaum homo seksual (baik gay maupun lesbian). Pemfokusan ini berdasarkan kenyataan bahwa walaupun negara kita sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, serta telah mempunyai UUD 45 yang pada Bab X tentang “Warga Negara” pasal 27 ayat (1), yang menganggap semua WNI memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualian dan ayat (2) mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun sedihnya dalam riwayat hidupnya bangsa kita telah diselewengkan oleh para pemimpin-pemimpin di kemudian hari, yang sudah mulai berlaku sejak jaman ORLA (Orde Lama) dan terutama mencapai puncaknya pada jaman ORBA (Orde Baru).
Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan orang Arab dan India pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur Asing, kemudian pada masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai Warga Negara Indonesia (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap “Pri” (Pribumi) atau bahkan “Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain. Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma “Non Pri” tersebut kedudukan mereka yang bukan “Pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, telah dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menekan mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh eksis. Untuk menunjang politik yang sangat beraroma rasis itu, oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan Presiden seperti: Pelarangaran Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Keturunan Cina. Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung, 1999: 3-4). Lucunya dalam era reformati (plesetan dari istilah reformasi), walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata SA. Penghargaan ini memberi kesan bahwa Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dari ORBA.
Memang dalam kenyataan akibat dari politik asimilasi tersebut, orang keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan. Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap “Cina”. Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hokum untuk didiskrirninasi seperti diperas, jika hendak mengurus surat di kantor-kantor pemerintah. Mereka didiskriminasi jika mau masuk ke sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya karena raut mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Memang sifat-sifat stereotip pada orang Tionghoa sukar sekali dihapuskan, terutama bagi pejabat-pejabat yang hendak memeras. Karena bagi mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga dapat dijadikan sumber keuangan mereka yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak memadai untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negara yang menjunjung tinggi HAM. Walaupun sejak pemerintahan Habibie orang dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP, masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia (SBKI).
Peraturan-peraturan bersifat diskriminasi yang diwariskan mengenai suku bangsa Tionghoa dari ORDE BARU masih banyak dan sukar untuk dapat dihapuskan karena menurut Menteri Kehakiman dan HAM, kedudukan peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah-pemerintah masa Reformasi kedudukannya kalah dengan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Akibatnya dapat diremehkan oleh pejabat-pejabat golongan “Hitam” untuk tetap memeras orang-orang yang memerlukan jasa dari mereka. Semua ini dapat terus berlaku karena sebagai suku bangsa yang minoritas orang keturunan Tionghoa belum mempunyai kedudukan sosial, politik, dan hukum yang mantap dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Oleh karenanya para pemimpin mereka harus berjuang terus untuk menghapus peraturan-peraturan yang diskriminatif itu, sehingga mereka tidak dijadikan kambing hitam apabila terjadi pergolakan sosial, politik maupun ekonomi seperti masa-masa lalu.
Sebenarnya kepedihan ini bukan saja dirasakan oleh suku bangsa Tionghoa saja tetapi juga oleh etnis-etnis yang lain walaupun dalam gradasi yang lebih kurang berat. Mereka itu adalah sub suku bangsa Bali, seperti orang Trunyan, yang agama “asli” yang bukan bersifat Hindu Majapahi selalu mendapat tekanan dari suku bangsa Bali Hindu yang mayoritas itu. Demikian juga etnis Batak, juga dilecehi karena anak-anak mereka waktu hendak mendaftarkan kelahiran anaknya di kantor Catatan Sipil tidak boleh mencantum nama marganya.
IV. KESIMPULAN
Dapat dikatakan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas khususnya suku bangsa Tionghoa masih actual dalam arti masih berlangsung terus. Penyebabnya memang sebagian oleh seniman diskriminasi ras, namun yang lebih tepat lagi adalah karena “fulus”, yakni uang atau dana yang perlu diperoleh oleh oknum-oknum pejabat baik sipil maupun militer, selama gaji mereka sebagai pegawai negeri masih tetap tak memadai dan kelompok yang dapat dijadikan obyek pemerasan sudah tentu adalah orang Indonesia Tionghoa, yang berkat peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah RI dibuat menjadi tidak mantap dalam struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat dilucuti tanpa mampu melawan.
V. SOLUSI
Pluralitas agama dan tindakan non diskriminatif hanya dapat dicapai seandainya masing-masing kelompok bersikap lapang dada satu sama lain. Dengan sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan memiliki makna bagi kemajuan dan kehidupan masyarakat plural Indonesia. Tiga jurus dalam meredam diskriminasi antar umat beragama di Indonesia sebagai berikut.
- Sikap saling mempercayai atas itikad baik golongan agama lain.
- Sikap saling menghormati hak orang lain yang menganut ajaran agamanya.
- Sikap saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan, dan kebiasaan kelompok agama lain yang berbeda, yang mungkin berlawanan dengan ajaran, keyakinan, dan kebiasaan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
https://dayugayatri.wordpress.com/2019/10/05/pemenuhan-hak-agama-dan-adat-untuk-penyandang-disabilitas-di-bali/
http://www.tangerangnews.com/bisnis/read/17099/Diskriminasi-Kaum-Minoritas-Kebebasan-Beragama-di-Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_beragama_di_Indonesia
http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Diskriminasi%20terhadap%20minoritas%20-%20james%20danandjaja.pdf
https://www.qureta.com/post/meredam-konflik-diskriminasi-antarumat-beragama
